Minggu, 05 Desember 2010

Pelajar Indonesia Calon Koruptor Kelas Kakap


Indonesia adalah surga koruptor. Sepertinya surga adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan negara ini bagi para koruptor melihat betapa makmurnya mereka dengan segala fakta bahwa mereka memang terbukti koruptor. Namun adakah ada yang menyadari bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia sendiri yang menjadikan negaranya menjadi surga bagi para koruptor itu. Kita seringkali, tanpa sadar, memaklumi kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada tindak korupsi alias korupsi kecil-kecilan, seperti menyontek.
Menyontek adalah salah satu tindakan yang oleh banyak orang dimaklumi, bahkan dianjurkan. Cara-cara jitu untuk menyontek pun seringkali dibicarakan di tempat umum tanpa ada rasa malu. Menyontek sudah menjadi kebiasaan, bahkan budaya bagi bangsa ini, terutama pelajar dari sekolah negeri, padahal sekolah negeri adalah sekolah yang disubsidi oleh pemerintah. Menyontek mutlak adalah cikal bakal dari korupsi, tapi kita semua seakan menutup mata akan fakta ini.
Selain sudah menjadi pemakluman bagi banyak orang, korupsi kecil-kecilan –yang akan menjadi korupsi besar-besaran kelak– juga dipicu oleh sebuah sistem yang memaklumkan kita untuk melakukannya. Menyontek tadi, misalnya. Para pelajar yang –baik dengan terpaksa ataupun dengan sukarela– menyontek, sebenarnya adalah korban sebuah sistem yang bobrok. Standar kualitas pendidikan kita dilihat hanya berdasarkan nilai berupa angka yang diuji hanya dari tes-tes yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu tanpa memperhatikan proses. Kelas-kelas di sekolah negeri penuh sesak dengan jumlah murid yang tidak mungkin dapat ditangani secara menyeluruh oleh seorang wali kelas, jumlah mata pelajaran yang sangat banyak dengan tuntutan tinggi untuk menghafal, dan sebagai puncaknya, Ujian Nasional yang menjadi tolok ukur seorang murid dapat diluluskan atau tidak dari sebuah Sekolah Menengah Pertama atau Sekolah Menengah Atas. Segala sistem tersebut dibuat oleh pemerintah kita dengan tujuan yang baik, menetapkan standar yang tinggi bagi anak-anak Indonesia sehingga menghasilkan sebuah generasi hebat. Pada kenyataannya, segala harapan ini akan menjadi buah simalakama bagi bangsa kita sendiri.
Ketakutan-ketakutan akan muncul pada benak para pelajar Indonesia yang dituntut oleh lingkungannya untuk mendapat ‘angka’ yang baik. Selanjutnya, ketakutan-ketakutan ini akan membuat mereka mencari berbagai macam jalan keluar, mulai dari yang halal sampai yang haram. Akhirnya, ‘mencuri’ menjadi jalan pintas yang menyenangkan. Mencari jawaban dari soal-soal yang harus dikerjakan di ujian tanpa harus bersusah-susah belajar (karena di negara ini memang belajar adalah kegiatan yang menyebalkan) adalah salah satu cara yang paling digemari. Mencari jawaban ini pun bervariatif jenisnya. Ada yang dilakukan hanya dengan sikut atau kerling kanan kiri mengandalkan teman sebagai sumber jawaban. Ada juga yang mengandalkan diri sendiri dengan membuat catatan-catatan kecil yang fleksibel untuk ditaruh di tempat-tempat strategis saat ujian. Ada juga yang mengandalkan jaringan komunikasi (jarkom) yang akan disebarkan oleh seseorang tertentu yang entah dari mana mendapatkan jawaban lengkap dari ujian tersebut. Kemudian yang terakhir, adalah cara paling sadis, membeli jawaban dari pihak tertentu yang kompeten, yang katanya memiliki kunci jawaban pasti dari pihak yang memang berkaitan.
Kebiasaan-kebiasaan menyontek ini akan terbawa terus, bahkan sampai perguruan tinggi. Skripsi-skripsi plagiat adalah sedikit bukti dari kebiasaan mencuri sejak kecil ini. Akhirnya, lulusan-lulusan perguruan tinggi kita akan menjadi anggota masyarakat yang sudah terbiasa untuk mencuri, tidak percaya pada kemampuan diri sendiri, dan mencari jalan pintas untuk berbagai hal.
Mengerikan. Mungkin hanya itu yang bisa terucapkan melihat fakta bahwa sebuah lingkaran setan itu entah sampai kapan akan terus berputar. Tak perlu mencaci dan memaki para koruptor kelas kakap yang mencuri milyaran uang rakyat. Mulailah berkaca, mungkin kita akan menjadi mereka kelak.

Jumat, 03 Desember 2010

Genjer-Genjer Bukan Komunis


Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) adalah sebuah organisasi kebudayaan yang pernah besar pada era Soekarno. Lembaga ini mengkhususkan dirinya pada kegiatan-kegiatan kebudayaan, kesenian, dan ilmu. Lekra kemudian diidentikan sebagai organisasi berhaluan kiri onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI) karena salah satu pendirinya adalah Nyoto, seorang aktivis PKI.
Pada September 1965 terjadi peristiwa pembunuhan sembilan orang Jendral Angkatan Darat di lubang buaya yang kita kenal dengan sebutan Gerakan 30 September (G30S). Sampai saat ini, dalang sebenarnya dari peristiwa ini belum dapat dipastikan karena adanya manipulasi data dan fakta yang dilakukan banyak pihak pada masa itu. Meskipun begitu, peristiwa G30S pada masa itu dijadikan sebagai pembenaran atas pembumihangusan PKI dan segala sesuatu yang berhubungan dengan paham komunis, termasuk Lekra. PKI dijadikan sebagai satu-satunya tersangka atas peristiwa itu karena hubungannya yang tidak baik dengan Angkatan Darat.
Jendral Soeharto adalah sosok yang kemudian menjabat sebagai presiden menggantikan Soekarno. Masa pemerintahannya dikenal dengan sebutan Orde Baru. Meskipun berwajah ramah dan dijuluki dunia internasional dengan julukan The Smiling Face, Soeharto ternyata tega membabat habis segala semua yang terlibat dengan komunis. Anggota dan simpatisan PKI ditangkap kemudian diasingkan atau dibunuh tanpa mengalami proses pengadilan. Segala kekejian ini merupakan realisasi dari Tap. MPRS No. XXV/MPRS/tahun 1966 tentang pelarangan ajaran Komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya. Lekra yang dianggap sebagai onderbouw PKI pun dibubarkan walaupun tidak semua anggotanya berpaham komunis.
Lekra sebenarnya tidak melihat anggota berdasarkan paham yang dianutnya. Lekra bebas dan tidak mengkotak-kotakan anggotanya. Bahkan pada Mukadimah Lekra sebenarnya jelas terlihat bahwa Lekra sama sekali tidak mengazaskan dirinya pada Marxisme dan Leninisme.
Lekra menyetujui setiap aliran bentuk dan gaya, selama ia setia pada kebenaran, keadilan dan kemajuan, dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya. Lekra mengulurkan tangan kepada organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apapun untuk bekerjasama dalam pengabdian ini.[1]
Pembubaran PKI dan Lekra ini diikuti dengan pelarangan berbagai karya seni yang identik dengannya. Karya-karya seni yang Soeharto berusaha musnahkan antara lain buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, kesenian Ludruk, dan lagu Genjer-genjer. Lagu Genjer-genjer sempat begitu populer hingga dinyanyikan Lilis Suryani dan Bing Slamet hingga masuk piringan hitam. Lagu yang diciptakan oleh Muhammad Arief di Banyuwangi pada tahun 1942-an ini sebenarnya sama sekali tidak mengandung unsur provokatif dalam liriknya. Lagu ini menceritakan penderitaan rakyat saat masa pendudukan Jepang yang hanya bisa makan genjer[2] karena kerja paksa. Awal kepopuleran lagu ini adalah saat Nyoto, seorang seniman Lekra dan aktivis PKI, berkunjung ke Banyuwangi lalu diperdengarkan lagu Genjer-genjer. Nyoto kemudian memprediksikan bahwa lagu ini akan meluas dan menjadi lagu nasional. Hal tersebut terbukti saat Genjer-genjer berulang kali ditayangkan Televisi Republik Indonesia dan diputar di Radio Rapublik Indonesia (lihat Jurnal Srinthil Vol. 3 tahun 2003).
Lirik lagu Genjer-genjer (terjemahan bahasa Indonesia)[3]
Gendjer-gendjer ada di lahan berhamparan
Ibunya anak-anak datang mencabuti gendjer
Dapat sebakul dipilih yang muda-muda
Gendjer-gendjer sekarang sudah dibawa pulang

Gendjer-gendjer pagi-pagi dibawa ke pasar
Ditata berjajar diikat dijajakan
Emaknya jebeng beli genjer dimasukkan dalam tas
Gendjer-gendjer sekarang akan dimasak

Gendjer-gendjer masuk belanga airnya masak
setengah matang ditiriskan dijadikan lauk
nasi sepiring sambal pecel duduk di ambin
Gendjer-gendjer dimakan musuhnya nasi
Lagu Genjer-genjer semakin mendapat kesan negatif karena digunakan pada sebuah film berjudul “Pengkhianatan G30S/PKI” arahan sutradara Arifin C. Noer. Film ini ditayangkan di TVRI setiap 30 September untuk membentuk opini masyarakat Indonesia bahwa PKI merupakan aktor utama peristiwa di Lubang Buaya tersebut. Lagu Genjer-genjer dipakai untuk mengiringi adegan saat Gerwani[4] dan Pemuda Rakyat menginterogasi dan menyiksa para Jendral. Harian Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) kemudian juga memplesetkan lagu ini dengan mengganti kata genjer-genjer menjadi jendral-jendral. Hal ini membuat masyarakat semakin membenci PKI, Lekra, dan lagu Genjer-genjer.
Rezim Orde Baru runtuh setelah kerusuhan pada bulan Mei 1998. Presiden Soeharto digantikan oleh wakilnya, B.J. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Setelah itu, banyak pihak berusaha membuka tabir-tabir kelam sejarah Indonesia. Berbagai penelitian dan analisis dilakukan banyak pihak sebagai upaya menemukan jawaban atas misteri peristiwa G30S. Namun dari penelitian-penelitian tersebut, jarang sekali dipaparkan pembahasan mengenai kebudayaan dan kesenian, khususnya Lekra dan karya-karyanya. Padahal, kebudayaan adalah hal yang selalu disanjung-sanjungkan berbagai pihak sebagai pilar bangsa ini.
Sampai sekarang, lagu Genjer-genjer masih segan untuk didengar, diperdengarkan, apalagi dinyanyikan rakyat Indonesia. Pada tahun 2009 kemarin, masih hangat berita mengenai sebuah radio di Surakarta, Solo Radio, yang didatangi puluhan anggota Corp Hizbullah Divisi Sunan Bonang karena memutar lagu Genjer-genjer pada siarannya[5]. Radio ini dituding membangkitkan kembali luka lama bangsa walau sampai sekarang pun harusnya kita masih bertanya-tanya, siapa yang sebenarnya terluka.
Setelah sekian lama, lagu ini masih menyisakan hawa mistis tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang setiap tahun selama 32 tahun ditayangkan terus-menerus telah membuat hampir seluruh rakyat Indonesia membayangkan adegan anggota-anggota Gerwani yang menyilet kelamin para Jendral sambil tertawa-tawa menyanyikan lagu Genjer-genjer. Sungguh suatu pendoktrinan massal yang mengerikan.
Setelah banyak fakta mengenai sejarah tahun 1965 terkuak bahwa PKI bukanlah satu-satunya pihak yang harus disalahkan dalam peristiwa G30S, seharusnya pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menyosialisasikannya. Pengembalian nama baik Lekra, anggota-anggotanya, dan yang paling penting karya-karya hasil buatannya merupakan langkah yang harus diambil oleh pemerintah Indonesia secepat mungkin.  Kesenian-kesenian Lekra yang dulu sempat diharamkan harusnya mendapatkan kembali tempat yang layak di mata masyarakat Indonesia, lagu Genjer-genjer adalah salah satunya.
Tidak hanya pemerintah saja yang diharapkan rela memberikan upayanya. Peran pemuda-pemudi Indonesia malah menjadi faktor yang sangat penting. Pemuda-pemudi Indonesia yang kritis dan masih memiliki semangat yang segar diharapkan dapat membantu upaya pemulihan luka bangsa berkaitan dengan tragedi 1965. Para pemuda dapat memulainya dengan menunjukkan apresiasi terhadap kesenian-kesenian tadi. Aransemen ulang lagu Genjer-genjer secara lebih modern kemudian diperdengarkan tanpa perlu membawa embel-embel Gerwani dan PKI adalah salah satu upaya yang mungkin bisa kita lakukan.
Apabila hal-hal kecil tersebut dapat dilakukan, bangsa ini telah membuktikan bahwa nilai-nilai kebudayaan telah dijunjung tinggi dan walaupun membutuhkan sebuah proses yang sangat panjang, arwah para seniman Lekra yang tak bersalah mungkin masih bisa tersenyum melihat karya-karyanya mendapatkan perlakuan yang layak.


[1] Ismail, Yahya. 1972. Pertumbuhan Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia. (hlm.121-123)
[2] Sejenis gulma sawah dengan nama latin limnocharis flava
[3] Andi Eko. “Kontroversi tentang Lagu Genjer-genjer” http://andieko.web.id/story/kontroversi-tentang-lagu-genjer-genjer (17 Nov. 2010)
[4] Gerakan Wanita Indonesia, sebuah organisasi wanita di bawah PKI
[5] Ahmad Rafiq. “Dianggap Berbau Komunis, Genjer-genjer Dipersoalkan” http://www.tempointeraktif.com/hg/seni/2009/09/14/brk,20090914-197895,id.html (19 Nov.2010)

Minggu, 26 September 2010

Jiwa Kewirausahaan Menuju Kebangkitan Indonesia

Indonesia sedang menghadapi krisis. Krisis dalam hal ekonomi dan krisis dalam rasa nasionalisme yang dimiliki rakyatnya. Kedua krisis ini sebenarnya dapat diminimalisir dampaknya hanya dengan satu solusi. Jiwa kewirausahaan yang dimiliki secara merata oleh rakyat Indonesia akan mengantarkan bangsa ini menuju kebangkitan. Kebangkitan ekonomi yang akan juga mengantarkan bangsa ini menuju kebangkitan Indonesia.
Pertambahan penduduk Indonesia yang tinggi namun tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang layak telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan angka pengangguran yang tinggi. Seperti dicatat Badan Pusat Statistik pada Februari 2010, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,41 persen atau setara 3 juta penduduk. Jumlah ini sangat memprihatinkan mengingat negara kita adalah negara yang sangat kaya akan berbagai sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia.
Tingkat pengangguran yang tinggi ini banyak disebabkan oleh kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Lapangan pekerjaan yang tersedia jumlahnya terbatas dan tidak kunjung bertambah sementara angka pertambahan penduduk semakin meningkat. Sayangnya, kebanyakan masyarakat Indonesia telah terdidik untuk memiliki mental pegawai yang fokus utamanya adalah mencari pekerjaan, bukan menciptakan pekerjaan.
Disadari atau tidak, pendidikan yang diberikan oleh lingkungan sekolah dan masyarakat kepada seorang anak adalah pendidikan yang membentuk anak itu untuk bekerja pada orang lain. Sekolah membentuk siswanya dengan kurikulum-kurikulum hapalan yang akan dilupakan begitu ujian selesai. Hal ini akan memenjarakan kreatifitas siswa karena mereka dituntut untuk menghapal, bukan memahami. Padahal, kreatifitas dan talenta seorang anak yang diasah dapat membentuk anak itu menjadi pribadi yang berani sehingga mungkin dapat menjadi salah satu penggerak penciptaan lapangan kerja Indonesia di masa depan.
Sekolah memberikan standar angka sebagai penilaian terhadap prestasi siswa. Ke depannya, siswa hanya akan berfokus pada angka yang mereka dapat, bukan pada ilmu yang mereka peroleh. Saat seorang siswa hanya berusaha mencapai nilai yang tinggi, mereka akan melakukan segala cara untuk mencapai nilai yang diinginkan, termasuk menghapal semalam suntuk atau bahkan menyontek. Proses bukan menjadi sebuah hal yang penting bagi siswa. Hasil adalah yang terpenting. Mental seperti ini, di masa depan, akan menjadikan siswa tumbuh menjadi manusia yang malas. Manusia yang mencari cara-cara instan demi mencapai sesuatu yang diinginkan. Sikap ini tentunya adalah salah satu faktor penting yang menjadikan masyarakat Indonesia memilih bekerja untuk orang lain, bukan menciptakan pekerjaan. Mereka mencari sesuatu yang sudah jelas dan kelihatan ketimbang memulai sesuatu yang belum pasti. Proses adalah sebuah kata yang belum akrab pada diri kebanyakan masyarakat Indonesia.
Sistem lain pada pendidikan di Indonesia yang mengekang jiwa kewirausahaan siswanya adalah menjadikan siswa terbiasa disuapi dengan pelajaran-pelajaran tanpa melibatkan siswa itu sendiri. Siswa menjadi malas berpikir serta malas mengemukakan pendapatnya karena memang kesempatan yang diberikan oleh pihak pendidik terbatas. Seseorang yang terbiasa disuapi akan mengalami rasa kaget saat harus memulai sesuatu yang penuh risiko. Lulusan-lulusan hasil sistem pendidikan Indonesia akan menjadi lulusan-lulusan yang takut mengambil risiko. Padahal seorang wirausahawan dituntut untuk memiliki sikap berani mengambil risiko.
Menjadi seorang wirausahawan juga berarti menjadi seorang pemimpin. Seseorang yang ingin memulai sesuatu yang baru harus menjadi pemimpin bagi apa yang akan dikerjakannya juga bagi dirinya sendiri. Sistem pendidikan di Indonesia, lagi-lagi, kurang memfasilitasi siswanya untuk menjadi pemimpin, setidaknya bagi dirinya sendiri. Siswa seringkali diperintah, bukan diajak berpikir apa yang baik untuk mereka masing-masing. Hal ini tentu saja akan menghambat tumbuhnya jiwa kepemimpinan bagi setiap individu.
Keadaan pendidikan yang memprihatinkan ini berlangsung tidak hanya pada pendidikan dasar, namun juga sampai ke tingkat pendidikan atas. Masyarakat dini di Indonesia telah dibentuk oleh sistem pendidikan yang membentuk mereka menjadi pribadi yang kurang berkualitas sebagai pribadi yang mandiri. Kemampuan memahami yang tidak diberikan sekolah akan membentuk siswa menjadi manusia yang mengukur segala sesuatu yang ia dapat berdasarkan penilaian orang lain. Sayangnya, sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki penghargaan yang tinggi terhadap pekerjaan yang dilakukan bagi perusahaan, terutama yang telah memiliki nama besar. Seorang anak telah dididik atau bahkan didoktrin oleh para pendidiknya untuk mencari pekerjaan di perusahaan-perusahaan besar atau di perusahaan-perusahaan milik negara yang akan menjamin pekerjanya sampai masa pensiun. Bidang kewirausahaan jarang sekali dibahas oleh para pendidik.
Mengingat betapa besarnya peran sekolah dalam membentuk karakter bangsa maka perlu adanya peninjauan kembali kurikulum pendidikan Indonesia. Kurikulum Indonesia sendiri telah mengalami perubahan sebanyak dua kali. Setelah kurikulum 1994 berubah menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), terjadi perubahan lagi yang sampai sekarang masih dipakai yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Meskipun telah mengalami perubahan yang cukup baik, misalnya guru sebagai fasilitator dan siswa sebagai elemen yang aktif, perubahan kurikulum ini ternyata dirasa belum cukup untuk mengatasi isu kewirausahaan. Pada kenyataannya, usaha yang dilakukan pemerintah dengan mengubah sistem kurikulum belum dapat dipraktikan dengan baik. Proses pembelajaran dan penilaian masih mengarahkan siswa menjadi manusia yang malas, melakukan cara-cara instan untuk mencapai nilai, dan tidak berani mengambil risiko.
Indonesia harus banyak belajar pada negara seperti Amerika dan Singapura. Kurikulum yang diterapkan di negara tersebut lebih banyak mengandalkan pendekatan personal melalui jurnal-jurnal yang dibuat oleh siswa sehingga pendidik dapat benar-benar memperhatikan kebutuhan masing-masing siswa. Selain itu, jumlah pelajaran yang diberikan pun tidak berlebihan sehingga siswa dapat dengan sungguh-sungguh mempelajari setiap bidangnya tanpa ada tekanan tenggat waktu atau pun tekanan nilai. Kurikulum di negara maju mendukung siswanya menjadi seorang pemimpin. Kepemimpinan erat sekali dengan jiwa kewirausahaan yang sedang sangat dibutuhkan oleh Indonesia.
Hal lain yang memprihatinkan adalah bahwa bangsa ini lebih bangga apabila dapat bekerja untuk perusahaan asing. Pola pikir seperti ini, selain menjadikan masyarakat Indonesia memiliki mental pegawai juga sekaligus melunturkan jiwa nasionalisme yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Seharusnya sekolah dan keluarga juga menanamkan nilai-nilai kebanggaan akan bangsa sendiri kepada anak-anaknya sejak dini. Kebanggaan berbahasa dan berbangsa Indonesia kelak akan menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang rindu untuk memajukan bangsanya. Menjadi seorang wirausahawan dengan menyediakan lapangan pekerjaan serta menyediakan produk-produk barang dan jasa yang tidak hanya dipasarkan di Indonesia adalah salah satu cara memajukan bangsa.
Pada akhirnya, lingkungan keluarga dan sekolah memiliki peran yang sangat esensial dalam perkembangan mental dan pola pikir generasi mendatang. Peninjauan kembali kurikulum pendidikan dan pola hidup masyarakat yang didukung oleh berbagai pihak, terutama pemerintah, sangat mungkin akan mengantarkan bangsa ini menuju bangsa mandiri yang memiliki jiwa nasionalisme yang kuat.