Kamis, 07 Maret 2013

“Bermula dari A” – Mencintai Tanpa Batas dalam Keterbatasan


Telepon genggam berdering tanda ada pesan masuk. Si perempuan menekan satu tombol untuk mengaktifkan screen reader pada telepon genggamnya. Sebuah suara kemudian membacakan pesan yang baru ia terima. “You have one message: Jadi ketemu jam berapa? Reading complete”. Si perempuan kemudian dengan cekatan menekan-nekan keypad telepon genggamnya untuk membalas pesan tersebut tanpa melihat ke arah layar telepon genggamnya. Meskipun tatapannya kosong, ia tersenyum simpul. Ia akan segera bertemu laki-laki yang disayanginya hari itu.
Sekilas adegan tadi adalah salah satu adegan dalam film “Bermula dari A”. Film pendek ini sebenarnya mengusung tema yang sederhana: kisah kasih antara seorang perempuan tuna netra dan seorang laki-laki tuna rungu. Akan tetapi, BW Purbanegara berhasil mengemas tema sederhana menjadi sebuah film pendek apik yang sangat realistis sekaligus membawa kita untuk bermimpi dan merasakan sekali lagi manis dan naifnya cinta.
Sesuai dengan judulnya, “Bermula dari A”, adegan awal film menceritakan si perempuan yang mengajarkan lafal “a” kepada si laki-laki. Si laki-laki yang tidak bisa mendengar hanya dapat memperhatikan gerak mulut si perempuan dan mencoba meniru gerak mulut tersebut. Si perempuan dengan sabar mengulang-ulang bunyi “a” sebagaimana si laki-laki dengan sabar meniru gerak bibir si perempuan.
Kisah berlanjut dengan proses si perempuan yang berupaya mengajarkan si laki-laki untuk mengucapkan kata “akbar” dengan susah payah. Betapa saling melengkapinya mereka satu sama lain dengan masing-masing keterbatasan yang mereka miliki. Misalnya saja, saat si perempuan memakai kacamata hitam yang sudah kehilangan sebelah lensanya tanpa menyadarinya, si laki-lakilah yang memberi tahu dan akhirnya menemani si perempuan untuk membeli kacamata baru.
Pemicu konflik yang ditunjukkan pada awal film adalah saat ibu si perempuan, seorang Jawa kental, memberi nasihat kepada anaknya untuk menemukan laki-laki yang bisa mengimami dirinya saat salat. Bagaimana mungkin seorang tuna rungu yang tidak bisa mengucapkan kata “akbar” bisa memimpin si perempuan untuk salat? Padahal peran laki-laki dalam hubungan perkawinan sangat jelas di mata Islam dan di mata masyarakat Jawa: memimpin perempuan.
Kalau kita memperhatikan betapa sulitnya si laki-laki membedakan lafal “b” dan “m” yang secara fonetis memang diucapkan dengan cara yang sama, atau bunyi “k” dan “r” pada kata “akbar” yang begitu sulit diucapkan olehnya yang tidak pernah benar-benar mendengar bunyi itu sejak kecil, kita seperti dibawa untuk merasakan susah payah yang ia rasakan. Pada satu adegan saat si perempuan mengajarkan bunyi tersebut kepada si laki-laki, audio total dimatikan sehingga penonton ikut menjadi tuli sesaat.
Secara visual, seluruh film ini ditampilkan dengan warna hitam putih. Seakan ingin ikut membawa penonton ke dalam suasana yang gelap dan tidak berwarna yang dirasakan oleh si perempuan tuna netra. Secara audio, suara yang disajikan pun ada dalam volume yang dapat dibilang pelan, seakan memberi ruang bagi penonton untuk lebih berupaya agar bisa benar-benar mendengarkan percakapan yang terjadi antartokoh dalam film. Film ini tidak memberikan yang terbaik dalam elemen utamanya sebagai film, yaitu audio dan visual. Film ini seakan memaksa penonton untuk merasakan apa yang dialami para pemainnya. Sesuatu yang secara audio dan visual tidak bisa ditampilkan dalam film ini.
Seperti halnya cinta yang tulus yang buta dan tuli, begitu pula si perempuan yang tidak harus melihat si laki-laki untuk mencintainya dan si laki-laki yang tidak harus mendengar si perempuan untuk mencintainya. Mereka mencintai satu sama lain tanpa batas, bahkan dalam keterbatasan mereka.

“Bermula dari A” – Mencintai Tanpa Batas dalam Keterbatasan


Telepon genggam berdering tanda ada pesan masuk. Si perempuan menekan satu tombol untuk mengaktifkan screen reader pada telepon genggamnya. Sebuah suara kemudian membacakan pesan yang baru ia terima. “You have one message: Jadi ketemu jam berapa? Reading complete”. Si perempuan kemudian dengan cekatan menekan-nekan keypad telepon genggamnya untuk membalas pesan tersebut tanpa melihat ke arah layar telepon genggamnya. Meskipun tatapannya kosong, ia tersenyum simpul. Ia akan segera bertemu laki-laki yang disayanginya hari itu.
Sekilas adegan tadi adalah salah satu adegan dalam film “Bermula dari A”. Film pendek ini sebenarnya mengusung tema yang sederhana: kisah kasih antara seorang perempuan tuna netra dan seorang laki-laki tuna rungu. Akan tetapi, BW Purbanegara berhasil mengemas tema sederhana menjadi sebuah film pendek apik yang sangat realistis sekaligus membawa kita untuk bermimpi dan merasakan sekali lagi manis dan naifnya cinta.
Sesuai dengan judulnya, “Bermula dari A”, adegan awal film menceritakan si perempuan yang mengajarkan lafal “a” kepada si laki-laki. Si laki-laki yang tidak bisa mendengar hanya dapat memperhatikan gerak mulut si perempuan dan mencoba meniru gerak mulut tersebut. Si perempuan dengan sabar mengulang-ulang bunyi “a” sebagaimana si laki-laki dengan sabar meniru gerak bibir si perempuan.
Kisah berlanjut dengan proses si perempuan yang berupaya mengajarkan si laki-laki untuk mengucapkan kata “akbar” dengan susah payah. Betapa saling melengkapinya mereka satu sama lain dengan masing-masing keterbatasan yang mereka miliki. Misalnya saja, saat si perempuan memakai kacamata hitam yang sudah kehilangan sebelah lensanya tanpa menyadarinya, si laki-lakilah yang memberi tahu dan akhirnya menemani si perempuan untuk membeli kacamata baru.
Pemicu konflik yang ditunjukkan pada awal film adalah saat ibu si perempuan, seorang Jawa kental, memberi nasihat kepada anaknya untuk menemukan laki-laki yang bisa mengimami dirinya saat salat. Bagaimana mungkin seorang tuna rungu yang tidak bisa mengucapkan kata “akbar” bisa memimpin si perempuan untuk salat? Padahal peran laki-laki dalam hubungan perkawinan sangat jelas di mata Islam dan di mata masyarakat Jawa: memimpin perempuan.
Kalau kita memperhatikan betapa sulitnya si laki-laki membedakan lafal “b” dan “m” yang secara fonetis memang diucapkan dengan cara yang sama, atau bunyi “k” dan “r” pada kata “akbar” yang begitu sulit diucapkan olehnya yang tidak pernah benar-benar mendengar bunyi itu sejak kecil, kita seperti dibawa untuk merasakan susah payah yang ia rasakan. Pada satu adegan saat si perempuan mengajarkan bunyi tersebut kepada si laki-laki, audio total dimatikan sehingga penonton ikut menjadi tuli sesaat.
Secara visual, seluruh film ini ditampilkan dengan warna hitam putih. Seakan ingin ikut membawa penonton ke dalam suasana yang gelap dan tidak berwarna yang dirasakan oleh si perempuan tuna netra. Secara audio, suara yang disajikan pun ada dalam volume yang dapat dibilang pelan, seakan memberi ruang bagi penonton untuk lebih berupaya agar bisa benar-benar mendengarkan percakapan yang terjadi antartokoh dalam film. Film ini tidak memberikan yang terbaik dalam elemen utamanya sebagai film, yaitu audio dan visual. Film ini seakan memaksa penonton untuk merasakan apa yang dialami para pemainnya. Sesuatu yang secara audio dan visual tidak bisa ditampilkan dalam film ini.
Seperti halnya cinta yang tulus yang buta dan tuli, begitu pula si perempuan yang tidak harus melihat si laki-laki untuk mencintainya dan si laki-laki yang tidak harus mendengar si perempuan untuk mencintainya. Mereka mencintai satu sama lain tanpa batas, bahkan dalam keterbatasan mereka.

Lokakarya Mengenali Film Pendek Indonesia (Day 1)


Lagi-lagi, saya merasa sangat beruntung untuk dapet pengalaman berharga semacam ini. Berkat Shirley dan Sekar, dua orang teman yang saya kenal saat menjadi volunteer di Kineforum, saya mendapatkan informasi untuk mengikuti workshop ini.

Lokakarya ini diadakan oleh filmindonesia.or.id bekerja sama dengan Konfiden, sebuah yayasan nonprofit yang bergerak bidang perfilman. Lokasi yang menjadi tempat lokakarya ini diadakan adalah di Subtitles Dharmawangsa Square dan berlangsung selama 7 hari, dimulai dari hari Kamis 22 November sampai Jumat 23 November. Setelah itu dilanjutkan lagi hari Senin 26 November sampai Selasa 27 November. Akhirnya, lokakarya diakhiri dari hari Jumat 30 November, Sabtu 1 Desember, dan Minggu 2 Desember 2012.  Sejauh ini, saya baru hadir dua kali di hari Kamis dan Jumat. Tapi eh tapi, ilmu yang saya dapet udah buanyaaaaak banget! Rasanya dapet pencerahan yang secerah-cerahnya mengenai film. Sayang banget kalau ilmu yang saya dapet enggak saya dokumentasikan dan saya share. Mudah-mudahan bermanfaat juga untuk yang baca blogpost ini J

Hari pertama lokakarya, yaitu hari Kamis, sama seperti hari-hari sebelumnya di Depok: hujan deras! Lokakarya hari itu dimulai pukul 5 sore. Saya sebenernya udah stand by di kampus dari siang dan berencana untuk berangkat pukul setengah 4 supaya bisa sampai di Subtitle tepat pukul setengah 5. Sayangnya, cuaca di Depok dan Jakarta memang lagi susah ditebak. Hujan hari itu awet banget. Berhubung saya naik motor, saya harus menunggu hujan reda sampai pukul 6 sore untuk bisa berangkat.

Sampai di Dharmawangsa pukul setengah 8 malam, lokakarya sudah sampai ke segmen diskusi. Saya melewatkan bagian pemutaran film. Lumayan sedih, sih. Soalnya segmen diskusi banyak merujuk pada film yang sudah ditonton sebelumnya. Walaupun begitu, ilmu yang saya dapet tetep banyak banget, kok. J

Karena baru hari pertama, materi hari itu masih berupa pengenalan medium film pendek kepada peserta lokakarya. Lokakarya hari itu diisi oleh mas Alex Sihar, seseorang yang udah enggak asing lagi di dunia perfilman. Beliau adalah direktur dari yayasan nonprofit, Konfiden. Beliau juga berada di dalam komite film Dewan Kesenian Jakarta. Kita bisa melihat namanya di berita-berita yang membahas penyelamatan file film “Lewat Djam Malam” kemarin.

 Hal pertama yang saya dapatkan adalah bahwa film pada awalnya merupakan penggunaan teknologi untuk pendokumentasian pertunjukan teater. Pertunjukan teater menjadi semacam awal mula dari adanya film yang kita kenal sekarang. Sejauh ini, film sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sayangnya, film panjang atau film feature masih jauh lebih dikenal dalam masyarakat dibandingkan dengan film pendek. Ada mitos yang berkembang di masyarakat awam bahwa film pendek dibuat oleh insan perfilman yang belum bisa atau belum berani membuat film panjang. Padahal, salah besar! Film pendek harusnya tidak dibanding-bandingkan dengan film panjang karena keduanya punya medium dan wilayah yang berbeda. Kalau dianalogikan, mungkin kita bisa melihat cerita pendek atau cerpen dengan novel. Cerpen dan novel tidak bisa dibandingkan karena keduanya memang berbeda. Penulis cerpen yang baik belum tentu bisa membuat novel yang baik. Begitu pun dengan penulis novel yang baik belum tentu bisa membuat cerpen yang baik.

Sejauh ini di Indonesia, film pendek belum mempunyai jalur distribusi yang ajeg, berbeda dengan film panjang yang sudah punya 21 atau XXI atau bahkan Blitzmegaplex sebagai tempat distribusi. Akses pasar dari film pendek juga sulit dilakukan, berbeda dengan film panjang atau film feature yang sudah memiliki pasar yang jelas. Karena masalah pasar, banyak film panjang yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan kehilangan dirinya sebagai saluran ekspresi kesenian. Film pendek yang masih memiliki pasar terbatas menjadi lebih “idealis” dan menjadi saluran ekspresi kesenian dari pada para insannya. Banyak film pendek yang akhirnya murni sebagai art form tanpa ada business value di dalamnya.

Terdapat 5 tahap yang membentuk suatu lingkaran dalam dunia perfilman. Tahap tersebut adalah produksi, distribusi, eksibisi, apresiasi, dan studi. Proses produksi dan distribusi normalnya dilakukan oleh dua pihak yang berbeda. Sayangnya, di Indonesia proses ini masih dilakukan oleh pihak yang sama. Produsen film harus pusing dengan proses distribusi film yang dibuatnya. Hal ini, menurut saya, mungkin bisa dibandingkan dengan penulis dan penerbit yang diisi oleh pihak yang berbeda. Penulis buku atau novel tidak perlu pusing memikirkan ke mana saja buku-bukunya akan dijual dan dengan promosi yang seperti apa karena penerbit sudah memikirkannya.

Di dalam proses apresiasi, terdapat suatu hal yang disebut dengan film literacy atau kecakapan film. Hal ini berkaitan dengan kecakapan atau pengetahuan masyarakat terhadap film. Film literacy di Indonesia belum terlalu diperhatikan sehingga masyarakat tidak melihat film sebagai konten dan media ajar. Kritikus film masih sangat sedikit. Media massa yang membahas film pun masih memandang film sebagai suatu event. Feedback yang diberikan kepada insan perfilman masih sangat kurang, terutama pada film pendek.

Proses studi perfilman di Indonesia pun masih sangat kurang. Film sebagai suatu studi masih terbatas pada beberapa akademi dan institut saja, misalnya Institut Kesenian Jakarta. Hal ini harus dibedakan dengan lokakarya yang sedang saya lakukan. Studi dalam hal ini dikategorikan sebagai suatu studi serius yang menghasilkan gelar. Insan perfilman mula-mula di Indonesia banyak meraih pendidikannya di luar Indonesia, seperti di Rusia dan beberapa negara Eropa barat.

Lima hal yang membentuk siklus perfilman ini pun belum benar-benar terpenuhi perannya di Indonesia. Menurut teman saya, Diego, yang adalah seorang penulis novel Gagas Media, siklus ini sudah cukup berjalan dalam hal penulisan. Mudah-mudahan, film bisa mencapai hal itu suatu saat.

Untuk bisa mempelajari semua peran itu dibutuhkan waktu yang lama. Lokakarya yang hanya berlangsung selama 7 hari ini enggak mungkin sempet untuk ngebahas semua hal tadi. Mas Alex bilang bahwa peserta lokakaya ini akan menjalankan salah satu hal dalam peran studi pada industri media, yaitu pembuatan resensi dan kritik film.

Setelah memaparkan hal-hal tersebut, mas Alex mengajak para peserta untuk enggak ngerasa down. Sejujurnya, kita emang jadi semacam merenung gitu, sih. Habisnya, menurut saya, dunia perfiman itu adalah dunia yang asyik banget. Kok bisa ya, ternyata masih banyak peran yang enggak terjalankan dengan maksimal. Setelah merenung, saya jadi semakin bersemangat dalam mengikuti lokakarya ini. Saya yakin ke depannya akan dapet banyak banget ilmu baru J

Nah, segitu dulu, post yang ngebahas lokakarya hari pertama ini. Mudah-mudahan bermanfaat, ya, guys. Saya bakal ngelanjutin review lokakarya hari selanjutnya di post selanjutnya. Tschuss! J

Urban Fest 2012: Save The Urban Youth trough Communities


Pernah ngerasa punya hobi dan passion yang “beda” atau “nyeleneh” tapi bingung mengekspresikannya? Eit, jangan sedih dulu! Sebenernya yang perlu dilakukan adalah nemuin temen-temen yang “nyelenehnya” sama, kumpul, terus bentuk komunitas bareng. Itu lah yang dilakukan sama temen-temen yang tergabung di berbagai komunitas yang kemaren buka booth di gelaran acara Urban Fest 2012.

Yep! Gelaran acara tahunan yang udah memasuki tahun ke-6 ini diadakan tanggal 24-25 November 2012 di selasar Dunia Fantasi, Ancol. Kali ini, tema yang diusung adalah Save The Urban Youth. Penampilan sekitar 50 band indie, di antaranya Burger Kills, Efek Rumah Kaca, Killing Me Inside, Payung Teduh, dan The Adams meramaikan Urban Fest 2012. Selain band-band indie dari Indonesia, ternyata ada juga band Cupid Falls yang asalnya dari Australia.

Eits, tapi inti dari acara ini sebenernya ada di sekitar 60-an komunitas yang “open house” dengan stand-nya masing-masing. Mereka lah anak muda Jakarta yang akhirnya berhasil nemuin temen-temen dengan ide “gila” masing-masing dan akhirnya ngebentuk komunitas. Mulai dari komunitas fotografi, komunitas freestyler, sampe komunitas yang berbau mistik!

Komunitas Fotografi
Salah satu komunitas fotografi yang ada di Urban Fest 2012 adalah komunitas I Light This  yang menekuni bidang fotografi cahaya. Pengunjung boleh foto di booth mereka dan ngedapetin hasilnya hanya dengan membayar Rp10.000 aja. Murah banget, loh, untuk ngedapetin foto yang enggak semua orang bisa bikin. Selain komunitas I Light This, ada juga komunitas fotografi lain yang enggak kalah seru yaitu Zepret Photography Club. Pengunjung boleh berfoto di studio mini yang udah disediain di booth dan mendapatkan hasil fotonya dengan membayar Rp15.000.

Komunitas Long Board
Olah raga ini sekilas mirip banget sama skate board, tapi ternyata bukan. Masih make papan sebagai medianya, olah raga ini disebut dengan long board. Sesuai namanya, long board menggunakan sebuah papan panjang dengan jalan menurun sebagai medannya. Komunitas ini melakukan latihan rutin tiga kali seminggu di area Gelora Bung Karno. Sekilas long board tampak menyeramkan karena biasa dilakukan di jalan menurun yang bisa ditemukan di dataran pegunungan seperti Lembang atau Puncak. Tapi ternyata, banyak juga loh cewek yang gabung di komunitas ini dan menekuni long board sebagai olah raga mereka. Di booth, kita bisa liat aksi cewek-cewek saat ber-long board ria melalui video yang ditampilkan. Mereka keren!

Komunitas Seni
Untuk komunitas yang berbau-bau seni, kita bisa nemuin komunitas Desa Rupa yang karya-karyanya dibuat dari barang bekas. Fakultas Seni Rupa dan Desain dari Universitas Tarumanegara juga ikutan buka booth di Urban Fest 2012. Mereka adalah anak muda yang bisa buktiin kalau karya bisa dihasilkan dari apa aja, bahkan dari benda-benda yang dianggap sampah sama orang lain. Komunitas seni ini menghasilkan karya nyata, bukan cuma ngomong. Hehehe.

Komunitas “Unik”
Di satu line, ada rentetan komunitas yang lumayan unik. Ada komunitas tato yang menyediakan jasa tato temporary dan tato permanen di boothnya. Setelah itu disusul dengan komunitas pen spinning yang isinya cowok-cowok lucu belia, lalu dilanjutkan dengan komunitas Magic Slourish Hypnosis, Indonesian Zombie Community, dan komunitas pecinta horror Jakarta Jakk Community. Yang unik dan bikin merinding di area ini adalah Indonesian Zombie Community yang jualan coklat dengan bentuk jari dan mata yang berdarah-darah. Hiiiiiiiii...

Yang enggak kalah serem, komunitas pecinta horror Jakarta Jakk Community punya booth yang dijaga sama serangkaian “makhluk halus”. Ngerinya booth ini dilengkapi dengan bau kemenyan yang cukup tajam yang pasti kecium sama siapa pun yang lewat. Para penjaga booth pun bener-bener mendalami perannya sebagai makhluk halus dengan enggak senyum sama sekali walaupun ditanya sama pengunjung. Walaupun begitu, mereka akan tetep mau kalo diminta foto bareng. Hehehe.

Komunitas Buku, Musik, dan Gadget
Setelah cukup horror ngelewatin komunitas-komunitas tadi, pengunjung bisa melihat booth komunitas mainan, komunitas buku, komunitas pecinta Oasis, komunitas iPhonesia, komunitas Gambar Harian, komunitas Indo Jump Stitts, komunitas Bike to Work, dan komunitas Indo Beat Box. Semuanya seru!

Komunitas Parkour Indonesia
Booth yang paling ujung setelah rangkaian booth tadi adalah booth parkour! Untuk yang belum tau, parkour ada seni bergerak dari titik A ke titik B seefektif dan seefisien mungkin. Serunya komunitas ini adalah mereka bawa rangkaian obstacle yang gedenya segambreng sampe-sampe disebut sama penyelenggara sebagai parkour spot. Komunitas parkour terbentuk dari tahun 2007 dan sekarang sudah tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Di Urban Fest kemaren, enggak Cuma praktisi parkour dari Jakarta aja yang dateng, tapi juga dari Bandung, Bekasi, Tangerang, bahkan Jogja!

Keseruan dua hari Urban Fest enggak kalah walaupun hujan mengguyur di hari pertama. Semuanya seru, mulai dari stand komunitas, performance, sampai makanan minuman yang tersedia. Mudah-mudahan Urban Fest tahun depan bisa lebih seru lagi J

Nah kan, ide-ide gila anak-anak muda urban di Jakarta emang perlu diselamatkan! So, don’t be afraid to have a “different”´passion. Find friends, make a community, and live your passion to the fullest!