Telepon
genggam berdering tanda ada pesan masuk. Si perempuan menekan satu tombol untuk
mengaktifkan screen reader pada telepon genggamnya. Sebuah suara kemudian membacakan pesan yang
baru ia terima. “You have one message: Jadi ketemu jam berapa? Reading
complete”. Si perempuan kemudian dengan
cekatan menekan-nekan keypad telepon
genggamnya untuk membalas pesan tersebut tanpa melihat ke arah layar telepon
genggamnya. Meskipun tatapannya kosong, ia tersenyum simpul. Ia akan segera
bertemu laki-laki yang disayanginya hari itu.
Sekilas adegan tadi
adalah salah satu adegan dalam film “Bermula dari A”. Film pendek ini sebenarnya
mengusung tema yang sederhana: kisah kasih antara seorang perempuan tuna netra
dan seorang laki-laki tuna rungu. Akan tetapi, BW Purbanegara berhasil mengemas
tema sederhana menjadi sebuah film pendek apik yang sangat realistis sekaligus
membawa kita untuk bermimpi dan merasakan sekali lagi manis dan naifnya cinta.
Sesuai dengan judulnya,
“Bermula dari A”, adegan awal film menceritakan si perempuan yang mengajarkan
lafal “a” kepada si laki-laki. Si laki-laki yang tidak bisa mendengar hanya
dapat memperhatikan gerak mulut si perempuan dan mencoba meniru gerak mulut
tersebut. Si perempuan dengan sabar mengulang-ulang bunyi “a” sebagaimana si
laki-laki dengan sabar meniru gerak bibir si perempuan.
Kisah berlanjut dengan
proses si perempuan yang berupaya mengajarkan si laki-laki untuk mengucapkan
kata “akbar” dengan susah payah. Betapa saling melengkapinya mereka satu sama
lain dengan masing-masing keterbatasan yang mereka miliki. Misalnya saja, saat
si perempuan memakai kacamata hitam yang sudah kehilangan sebelah lensanya
tanpa menyadarinya, si laki-lakilah yang memberi tahu dan akhirnya menemani si
perempuan untuk membeli kacamata baru.
Pemicu konflik yang
ditunjukkan pada awal film adalah saat ibu si perempuan, seorang Jawa kental, memberi
nasihat kepada anaknya untuk menemukan laki-laki yang bisa mengimami dirinya
saat salat. Bagaimana mungkin seorang tuna rungu yang tidak bisa mengucapkan
kata “akbar” bisa memimpin si perempuan untuk salat? Padahal peran laki-laki
dalam hubungan perkawinan sangat jelas di mata Islam dan di mata masyarakat
Jawa: memimpin perempuan.
Kalau kita memperhatikan
betapa sulitnya si laki-laki membedakan lafal “b” dan “m” yang secara fonetis
memang diucapkan dengan cara yang sama, atau bunyi “k” dan “r” pada kata
“akbar” yang begitu sulit diucapkan olehnya yang tidak pernah benar-benar
mendengar bunyi itu sejak kecil, kita seperti dibawa untuk merasakan susah
payah yang ia rasakan. Pada satu adegan saat si perempuan mengajarkan bunyi
tersebut kepada si laki-laki, audio total dimatikan sehingga penonton ikut
menjadi tuli sesaat.
Secara visual, seluruh
film ini ditampilkan dengan warna hitam putih. Seakan ingin ikut membawa
penonton ke dalam suasana yang gelap dan tidak berwarna yang dirasakan oleh si
perempuan tuna netra. Secara audio, suara yang disajikan pun ada dalam volume
yang dapat dibilang pelan, seakan memberi ruang bagi penonton untuk lebih berupaya
agar bisa benar-benar mendengarkan percakapan yang terjadi antartokoh dalam
film. Film ini tidak memberikan yang terbaik dalam elemen utamanya sebagai
film, yaitu audio dan visual. Film ini seakan memaksa penonton untuk merasakan
apa yang dialami para pemainnya. Sesuatu yang secara audio dan visual tidak bisa
ditampilkan dalam film ini.
Seperti halnya cinta
yang tulus yang buta dan tuli, begitu pula si perempuan yang tidak harus
melihat si laki-laki untuk mencintainya dan si laki-laki yang tidak harus
mendengar si perempuan untuk mencintainya. Mereka mencintai satu sama lain
tanpa batas, bahkan dalam keterbatasan mereka.