Lagi-lagi,
saya merasa sangat beruntung untuk dapet pengalaman berharga semacam ini.
Berkat Shirley dan Sekar, dua orang teman yang saya kenal saat menjadi volunteer di Kineforum, saya mendapatkan
informasi untuk mengikuti workshop
ini.
Lokakarya
ini diadakan oleh filmindonesia.or.id bekerja
sama dengan Konfiden, sebuah yayasan nonprofit yang bergerak bidang perfilman.
Lokasi yang menjadi tempat lokakarya ini diadakan adalah di Subtitles
Dharmawangsa Square dan berlangsung selama 7 hari, dimulai dari hari Kamis 22
November sampai Jumat 23 November. Setelah itu dilanjutkan lagi hari Senin 26
November sampai Selasa 27 November. Akhirnya, lokakarya diakhiri dari hari
Jumat 30 November, Sabtu 1 Desember, dan Minggu 2 Desember 2012. Sejauh ini, saya baru hadir dua kali di hari
Kamis dan Jumat. Tapi eh tapi, ilmu yang saya dapet udah buanyaaaaak banget!
Rasanya dapet pencerahan yang secerah-cerahnya mengenai film. Sayang banget
kalau ilmu yang saya dapet enggak saya dokumentasikan dan saya share. Mudah-mudahan bermanfaat juga
untuk yang baca blogpost ini J
Hari pertama
lokakarya, yaitu hari Kamis, sama seperti hari-hari sebelumnya di Depok: hujan
deras! Lokakarya hari itu dimulai pukul 5 sore. Saya sebenernya udah stand by di kampus dari siang dan
berencana untuk berangkat pukul setengah 4 supaya bisa sampai di Subtitle tepat
pukul setengah 5. Sayangnya, cuaca di Depok dan Jakarta memang lagi susah
ditebak. Hujan hari itu awet banget. Berhubung saya naik motor, saya harus
menunggu hujan reda sampai pukul 6 sore untuk bisa berangkat.
Sampai di
Dharmawangsa pukul setengah 8 malam, lokakarya sudah sampai ke segmen diskusi.
Saya melewatkan bagian pemutaran film. Lumayan sedih, sih. Soalnya segmen
diskusi banyak merujuk pada film yang sudah ditonton sebelumnya. Walaupun
begitu, ilmu yang saya dapet tetep banyak banget, kok. J
Karena baru
hari pertama, materi hari itu masih berupa pengenalan medium film pendek kepada
peserta lokakarya. Lokakarya hari itu diisi oleh mas Alex Sihar, seseorang yang
udah enggak asing lagi di dunia perfilman. Beliau adalah direktur dari yayasan
nonprofit, Konfiden. Beliau juga berada di dalam komite film Dewan Kesenian
Jakarta. Kita bisa melihat namanya di berita-berita yang membahas penyelamatan file film “Lewat Djam Malam” kemarin.
Hal pertama yang saya dapatkan adalah bahwa
film pada awalnya merupakan penggunaan teknologi untuk pendokumentasian
pertunjukan teater. Pertunjukan teater menjadi semacam awal mula dari adanya
film yang kita kenal sekarang. Sejauh ini, film sudah mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Sayangnya, film panjang atau film feature masih jauh lebih dikenal dalam masyarakat dibandingkan
dengan film pendek. Ada mitos yang berkembang di masyarakat awam bahwa film
pendek dibuat oleh insan perfilman yang belum bisa atau belum berani membuat
film panjang. Padahal, salah besar! Film pendek harusnya tidak
dibanding-bandingkan dengan film panjang karena keduanya punya medium dan
wilayah yang berbeda. Kalau dianalogikan, mungkin kita bisa melihat cerita
pendek atau cerpen dengan novel. Cerpen dan novel tidak bisa dibandingkan
karena keduanya memang berbeda. Penulis cerpen yang baik belum tentu bisa
membuat novel yang baik. Begitu pun dengan penulis novel yang baik belum tentu
bisa membuat cerpen yang baik.
Sejauh ini
di Indonesia, film pendek belum mempunyai jalur distribusi yang ajeg, berbeda
dengan film panjang yang sudah punya 21 atau XXI atau bahkan Blitzmegaplex
sebagai tempat distribusi. Akses pasar dari film pendek juga sulit dilakukan,
berbeda dengan film panjang atau film feature
yang sudah memiliki pasar yang jelas. Karena masalah pasar, banyak film panjang
yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan kehilangan dirinya sebagai
saluran ekspresi kesenian. Film pendek yang masih memiliki pasar terbatas
menjadi lebih “idealis” dan menjadi saluran ekspresi kesenian dari pada para
insannya. Banyak film pendek yang akhirnya murni sebagai art form tanpa ada business
value di dalamnya.
Terdapat 5 tahap yang membentuk suatu lingkaran dalam
dunia perfilman. Tahap tersebut adalah produksi, distribusi, eksibisi,
apresiasi, dan studi. Proses produksi dan distribusi normalnya dilakukan oleh
dua pihak yang berbeda. Sayangnya, di Indonesia proses ini masih dilakukan oleh
pihak yang sama. Produsen film harus pusing dengan proses distribusi film yang
dibuatnya. Hal ini, menurut saya, mungkin bisa dibandingkan dengan penulis dan
penerbit yang diisi oleh pihak yang berbeda. Penulis buku atau novel tidak
perlu pusing memikirkan ke mana saja buku-bukunya akan dijual dan dengan
promosi yang seperti apa karena penerbit sudah memikirkannya.
Di dalam proses apresiasi, terdapat suatu hal yang
disebut dengan film literacy atau
kecakapan film. Hal ini berkaitan dengan kecakapan atau pengetahuan masyarakat
terhadap film. Film literacy di
Indonesia belum terlalu diperhatikan sehingga masyarakat tidak melihat film
sebagai konten dan media ajar. Kritikus film masih sangat sedikit. Media massa
yang membahas film pun masih memandang film sebagai suatu event. Feedback yang diberikan kepada insan perfilman masih sangat
kurang, terutama pada film pendek.
Proses studi perfilman di Indonesia pun masih sangat kurang.
Film sebagai suatu studi masih terbatas pada beberapa akademi dan institut
saja, misalnya Institut Kesenian Jakarta. Hal ini harus dibedakan dengan
lokakarya yang sedang saya lakukan. Studi dalam hal ini dikategorikan sebagai
suatu studi serius yang menghasilkan gelar. Insan perfilman mula-mula di
Indonesia banyak meraih pendidikannya di luar Indonesia, seperti di Rusia dan
beberapa negara Eropa barat.
Lima hal yang membentuk siklus perfilman ini pun belum
benar-benar terpenuhi perannya di Indonesia. Menurut teman saya, Diego, yang
adalah seorang penulis novel Gagas Media, siklus ini sudah cukup berjalan dalam
hal penulisan. Mudah-mudahan, film bisa mencapai hal itu suatu saat.
Untuk bisa mempelajari semua peran itu dibutuhkan
waktu yang lama. Lokakarya yang hanya berlangsung selama 7 hari ini enggak
mungkin sempet untuk ngebahas semua hal tadi. Mas Alex bilang bahwa peserta
lokakaya ini akan menjalankan salah satu hal dalam peran studi pada industri
media, yaitu pembuatan resensi dan kritik film.
Setelah memaparkan hal-hal tersebut, mas Alex mengajak
para peserta untuk enggak ngerasa down. Sejujurnya,
kita emang jadi semacam merenung gitu, sih. Habisnya, menurut saya, dunia
perfiman itu adalah dunia yang asyik banget. Kok bisa ya, ternyata masih banyak
peran yang enggak terjalankan dengan maksimal. Setelah merenung, saya jadi
semakin bersemangat dalam mengikuti lokakarya ini. Saya yakin ke depannya akan
dapet banyak banget ilmu baru J
Nah, segitu dulu, post
yang ngebahas lokakarya hari pertama ini. Mudah-mudahan bermanfaat, ya, guys. Saya bakal ngelanjutin review lokakarya hari selanjutnya di post selanjutnya. Tschuss! J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar