Kamis, 07 Maret 2013

Lokakarya Mengenali Film Pendek Indonesia (Day 1)


Lagi-lagi, saya merasa sangat beruntung untuk dapet pengalaman berharga semacam ini. Berkat Shirley dan Sekar, dua orang teman yang saya kenal saat menjadi volunteer di Kineforum, saya mendapatkan informasi untuk mengikuti workshop ini.

Lokakarya ini diadakan oleh filmindonesia.or.id bekerja sama dengan Konfiden, sebuah yayasan nonprofit yang bergerak bidang perfilman. Lokasi yang menjadi tempat lokakarya ini diadakan adalah di Subtitles Dharmawangsa Square dan berlangsung selama 7 hari, dimulai dari hari Kamis 22 November sampai Jumat 23 November. Setelah itu dilanjutkan lagi hari Senin 26 November sampai Selasa 27 November. Akhirnya, lokakarya diakhiri dari hari Jumat 30 November, Sabtu 1 Desember, dan Minggu 2 Desember 2012.  Sejauh ini, saya baru hadir dua kali di hari Kamis dan Jumat. Tapi eh tapi, ilmu yang saya dapet udah buanyaaaaak banget! Rasanya dapet pencerahan yang secerah-cerahnya mengenai film. Sayang banget kalau ilmu yang saya dapet enggak saya dokumentasikan dan saya share. Mudah-mudahan bermanfaat juga untuk yang baca blogpost ini J

Hari pertama lokakarya, yaitu hari Kamis, sama seperti hari-hari sebelumnya di Depok: hujan deras! Lokakarya hari itu dimulai pukul 5 sore. Saya sebenernya udah stand by di kampus dari siang dan berencana untuk berangkat pukul setengah 4 supaya bisa sampai di Subtitle tepat pukul setengah 5. Sayangnya, cuaca di Depok dan Jakarta memang lagi susah ditebak. Hujan hari itu awet banget. Berhubung saya naik motor, saya harus menunggu hujan reda sampai pukul 6 sore untuk bisa berangkat.

Sampai di Dharmawangsa pukul setengah 8 malam, lokakarya sudah sampai ke segmen diskusi. Saya melewatkan bagian pemutaran film. Lumayan sedih, sih. Soalnya segmen diskusi banyak merujuk pada film yang sudah ditonton sebelumnya. Walaupun begitu, ilmu yang saya dapet tetep banyak banget, kok. J

Karena baru hari pertama, materi hari itu masih berupa pengenalan medium film pendek kepada peserta lokakarya. Lokakarya hari itu diisi oleh mas Alex Sihar, seseorang yang udah enggak asing lagi di dunia perfilman. Beliau adalah direktur dari yayasan nonprofit, Konfiden. Beliau juga berada di dalam komite film Dewan Kesenian Jakarta. Kita bisa melihat namanya di berita-berita yang membahas penyelamatan file film “Lewat Djam Malam” kemarin.

 Hal pertama yang saya dapatkan adalah bahwa film pada awalnya merupakan penggunaan teknologi untuk pendokumentasian pertunjukan teater. Pertunjukan teater menjadi semacam awal mula dari adanya film yang kita kenal sekarang. Sejauh ini, film sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sayangnya, film panjang atau film feature masih jauh lebih dikenal dalam masyarakat dibandingkan dengan film pendek. Ada mitos yang berkembang di masyarakat awam bahwa film pendek dibuat oleh insan perfilman yang belum bisa atau belum berani membuat film panjang. Padahal, salah besar! Film pendek harusnya tidak dibanding-bandingkan dengan film panjang karena keduanya punya medium dan wilayah yang berbeda. Kalau dianalogikan, mungkin kita bisa melihat cerita pendek atau cerpen dengan novel. Cerpen dan novel tidak bisa dibandingkan karena keduanya memang berbeda. Penulis cerpen yang baik belum tentu bisa membuat novel yang baik. Begitu pun dengan penulis novel yang baik belum tentu bisa membuat cerpen yang baik.

Sejauh ini di Indonesia, film pendek belum mempunyai jalur distribusi yang ajeg, berbeda dengan film panjang yang sudah punya 21 atau XXI atau bahkan Blitzmegaplex sebagai tempat distribusi. Akses pasar dari film pendek juga sulit dilakukan, berbeda dengan film panjang atau film feature yang sudah memiliki pasar yang jelas. Karena masalah pasar, banyak film panjang yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan kehilangan dirinya sebagai saluran ekspresi kesenian. Film pendek yang masih memiliki pasar terbatas menjadi lebih “idealis” dan menjadi saluran ekspresi kesenian dari pada para insannya. Banyak film pendek yang akhirnya murni sebagai art form tanpa ada business value di dalamnya.

Terdapat 5 tahap yang membentuk suatu lingkaran dalam dunia perfilman. Tahap tersebut adalah produksi, distribusi, eksibisi, apresiasi, dan studi. Proses produksi dan distribusi normalnya dilakukan oleh dua pihak yang berbeda. Sayangnya, di Indonesia proses ini masih dilakukan oleh pihak yang sama. Produsen film harus pusing dengan proses distribusi film yang dibuatnya. Hal ini, menurut saya, mungkin bisa dibandingkan dengan penulis dan penerbit yang diisi oleh pihak yang berbeda. Penulis buku atau novel tidak perlu pusing memikirkan ke mana saja buku-bukunya akan dijual dan dengan promosi yang seperti apa karena penerbit sudah memikirkannya.

Di dalam proses apresiasi, terdapat suatu hal yang disebut dengan film literacy atau kecakapan film. Hal ini berkaitan dengan kecakapan atau pengetahuan masyarakat terhadap film. Film literacy di Indonesia belum terlalu diperhatikan sehingga masyarakat tidak melihat film sebagai konten dan media ajar. Kritikus film masih sangat sedikit. Media massa yang membahas film pun masih memandang film sebagai suatu event. Feedback yang diberikan kepada insan perfilman masih sangat kurang, terutama pada film pendek.

Proses studi perfilman di Indonesia pun masih sangat kurang. Film sebagai suatu studi masih terbatas pada beberapa akademi dan institut saja, misalnya Institut Kesenian Jakarta. Hal ini harus dibedakan dengan lokakarya yang sedang saya lakukan. Studi dalam hal ini dikategorikan sebagai suatu studi serius yang menghasilkan gelar. Insan perfilman mula-mula di Indonesia banyak meraih pendidikannya di luar Indonesia, seperti di Rusia dan beberapa negara Eropa barat.

Lima hal yang membentuk siklus perfilman ini pun belum benar-benar terpenuhi perannya di Indonesia. Menurut teman saya, Diego, yang adalah seorang penulis novel Gagas Media, siklus ini sudah cukup berjalan dalam hal penulisan. Mudah-mudahan, film bisa mencapai hal itu suatu saat.

Untuk bisa mempelajari semua peran itu dibutuhkan waktu yang lama. Lokakarya yang hanya berlangsung selama 7 hari ini enggak mungkin sempet untuk ngebahas semua hal tadi. Mas Alex bilang bahwa peserta lokakaya ini akan menjalankan salah satu hal dalam peran studi pada industri media, yaitu pembuatan resensi dan kritik film.

Setelah memaparkan hal-hal tersebut, mas Alex mengajak para peserta untuk enggak ngerasa down. Sejujurnya, kita emang jadi semacam merenung gitu, sih. Habisnya, menurut saya, dunia perfiman itu adalah dunia yang asyik banget. Kok bisa ya, ternyata masih banyak peran yang enggak terjalankan dengan maksimal. Setelah merenung, saya jadi semakin bersemangat dalam mengikuti lokakarya ini. Saya yakin ke depannya akan dapet banyak banget ilmu baru J

Nah, segitu dulu, post yang ngebahas lokakarya hari pertama ini. Mudah-mudahan bermanfaat, ya, guys. Saya bakal ngelanjutin review lokakarya hari selanjutnya di post selanjutnya. Tschuss! J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar